Sabtu, 07 Juli 2012
KUMPULAN CERITA ABU NAWAS
Hadiah Bagi Tebakan Jitu
Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu.
“Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku.” Kata Baginda.
“Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.”
“Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?”
tanya Baginda.
“Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?”
“Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas.
“Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” Tanya Baginda heran.
“Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” Jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid
memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.
“Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?” Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
“Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. La merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jikamasalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?”
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri “Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?”
“Sanggup Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.
“Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan.”
“Sebutkan sarat itu.” kata Baginda Raja.
“Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya.”
“Pintu apa?” tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas.
“Apa itu?” tanya Baginda ingin tahu.
“Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu.”
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,
sumber : http://kisahabunawas.wordpress.com/2009/01/08/hadiah-bagi-tebakan-jitu/
Cerita humor: Abunawas Pengawal Raja
Alkisah, Abunawas bertugas menjadi pengawal raja, kemanapun Raja pergi Abunawas selalu ada didekatnya.
Raja membuat Undang Undang kebersihan lingkungan, yang pada salah satu fasalnya berbunyi, Dilarang berak di sungai kecuali Raja atau seijin Raja, pelanggaran atas fasal ini adalah hukuman mati.
Suatu hari Raja mengajak Abunawas berburu ke hutan, ndilalah Raja kebelet berak, karena di hutan maka Raja berak di sungai yang airnya mengalir ke arah utara.
Raja berak di suatu tempat, eee Abunawas ikut berak juga di sebelah selatan dari Raja, begitu Raja melihat ada kotoran lain selain kotoran nya, raja marah, dan diketahui yang berak adalah Abunawas.
Abunawas dibawa ke pengadilan, Abunawas divonis hukuman mati, sebelum hukuman dilaksanakan, Abunawas diberi kesempatan membela diri, kata Abunawas “Raja yang mulia, aku rela dihukum mati, tapi aku akan sampaikan alasanku kenapa aku ikut berak bersama raja saat itu, itu adalah bukti kesetiaanku pada paduka raja, karena sampai kotoran Rajapun harus aku kawal dengan kootoranku, itulah pembelaanku dan alasanku Raja. Hukumlah aku.”
Abunawas yang divonis mati, diampuni dan malah diberi hadiah rumah dan perahu kecil untuk tempat kotoran nya mengawal kotoran raja.
Ibu Sejati
Kisah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Sulaiman ketika masih muda.
Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.
Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa.
Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.
Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggrl algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.
“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog. “Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?”
“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.
“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata.” kata Abu Nawas mengancam.
Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.
“Jangan, tolongjangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsurig menyerahkan kepada perempuan kedua.
Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih. Apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.
Pekerjaan Yang Mustahil
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.
Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda,
“Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?” tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.
Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.
“Ampun Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti.” kata Abu Nawas.
“Apa usul itu?”
“Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi.”
“Kalau hanya usulmu, baiklah.” kata Baginda.
“Satu lagi Baginda….. ” Abu Nawas menambahkan.
“Apa lagi?” tanya Baginda.
“Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin.” kata Abu Nawas.
“Usulmu kuterima.” kata Baginda menyetujui.Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.
Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, “Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?”
“Tidak ada.” jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.
“Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?” tanya Baginda Raja.
“Hamba sudah siap sejak tadi Baginda.” kata Abu Nawas.
“Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?” tanya
Baginda masih diliputi perasaan heran.
“Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka.”
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.
Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara
Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawaspun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”
Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.
Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”
Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.
Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.
Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”
Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”
Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
Abu Nawas dan Pengemis yang Kedinginan dalam Kolam
Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu.
Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata si saudagar. Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi. Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.
Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan.”
Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar, Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai, hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah.”
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan. Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.”
Baginda pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan. Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.
“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar.
“Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin.
Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”
Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.
Abu Nawas dan Menteri yang Zalim
Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas terakhir alias mati.
Kemudian Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya.
Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
“Dengan demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang menggiringseekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”
“Betul juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu, melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.
“Lima puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri. “Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda.
“Baik, pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong. Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun karena harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”
Keduanya pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.”
“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri.
“Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”
Si menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang, uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,” keluhnya.
“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup
hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong
Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim.
Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masihbernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya.
“Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas.
“Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnyasehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”
Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda tinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.
Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.
Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri.
Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.
Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahubarangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”
Cara Abu Nawas Merayu Tuhan
Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan. Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia jugamengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat AbuNawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggutmanggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.
***
Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti. Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi. “Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
“Abunanawas & gajah”
Raja: Hai abunawas! engkau terkenal cerdik & pandai, aku ingin melihat itu, kalau engkau benar2 hebat, maka buatlah gajah kesayanganku ini mengangkat kakinya, terserah kaki yg mana, kemudian buatlah jg dia menggelengkan kepalanya. Kalau kau berhasil, maka akan ku kabulkan apapun permohonanmu, karena siapapun di negeri antah berantah ini tdk ada yg dpt melakukannya.
Abunawas; Baiklah baginda. (maka dengan akal cerdiknya abunawas mendekati sang gajah yg berkelamin laki2 itu, dan… menarik kemaluannya, maka !!!AaAaUuuu!!!… sang gajah terkejut & sedikit kesakitan & mengangkat2 kakinya.)
Raja: Berikan tepuk tangan buat Abunawas!… Eit! jangan senang dulu kamu! selesaikan
saja yg berikutnya.
Abinawas: Siap baginda.
(lagi2 Abunawas mendekati sang gajah, dan berbisik ditelinganya ‘hai gajah dongo! Apa mau yang seperti tadi lagi?!’… sang gajah pun dengan keras menggeleng2kan kepalanya).
…..Sang Raja & seluruh rakyat yg menyaksikan melongo & terdiam kagum melihat kehebatan Abunawas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar